Studi Kasus : Menyelamatkan Olahragawan Indonesia
Jika dikatakan sebagai negara tanpa atlet hebat, tentunya adalah salah karena Indonesia pernah memiliki olahragawan hebat atau bahkan sampai sekarang masih mencetak orang-orang yang berkecimpung dalam dunia olahraga yang berprestasi di dalam atau luar negeri.
Dari tahun ke tahun, ada beberapa atlet dari dalam negeri yang pernah menorehkan kemenangan dan mengharumkan nama Indonesia dalam bidang olahraga di kancah internasional. Sayangnya, tidak semua olahragawan Tanah Air itu memiliki nasib baik ketika dirinya sudah tak lagi menekuni dunia olahraga dan memiliki hidup yang cukup memprihatinkan di hari tua mereka. Ditambah lagi, jarang dari mereka yang terekspos media dan mendapatkan perhatian dari negara walaupun olahragawan-olahragawan ini pernah mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional.
Dari tahun ke tahun, ada beberapa atlet dari dalam negeri yang pernah menorehkan kemenangan dan mengharumkan nama Indonesia dalam bidang olahraga di kancah internasional. Sayangnya, tidak semua olahragawan Tanah Air itu memiliki nasib baik ketika dirinya sudah tak lagi menekuni dunia olahraga dan memiliki hidup yang cukup memprihatinkan di hari tua mereka. Ditambah lagi, jarang dari mereka yang terekspos media dan mendapatkan perhatian dari negara walaupun olahragawan-olahragawan ini pernah mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional.
Baru saja, seorang mantan petinju profesional ditangkap polisi karena mencuri tiga lempeng baja dari sebuah pabrik. Terdesak kebutuhan hidup, begitu alasan dia. Padahal, dulu si mantan petinju kerap berlaga di ring internasional untuk mengibarkan nama Indonesia.
Cerita pilu semacam itu jadi semakin klise saja. Dua tahun silam, mantan juara dunia tinju kebanggaan Indonesia pun terlibat kriminalitas, juga gara-gara himpitan kondisi ekonomi. Belum lagi kisah-kisah lain semisal mantan peraih emas cabang lari yang menyambung hidup dengan berjualan air mineral di Senayan, atau atlet dayung juara Sea Games yang menjalani hari tua sebagai nelayan miskin di pantai utara Jawa. Terhadap berita-berita sendu demikian, apa tindakan kita? Ya, kita sekadar membacanya, menghela napas sesaat, mengelus dada biar efek drama tambah sempurna, lalu pelan-pelan melupakannya. Kalau toh kita berbuat sesuatu, maksimal kita mengunggah tautan berita di akun medsos kita, dilengkapi kalimat yang tidak kalah klisenya: "Ke mana Jokowi? Kenapa jasa para pahlawan ini dilupakan negara?" Halah, negara. Dikit-dikit kok negara. Memang sih, idealnya negara selalu hadir dalam setiap lipatan kehidupan kita, mulai urusan jalan tol hingga harga merica. Tapi kalau boleh berbagi, saya ingin menceritakan secuil pengamatan saya atas dunia olahraga di Australia. *** "Kalau mau jadi atlet beneran, mending di Indonesia daripada di sini, Bal." Saya agak kaget mendengar kalimat itu. Yang mengucapkannya adalah Pak Jimmy, sahabat saya, sesama sopir di PEP Transport. Meski kaget, saya jelas percaya dia. Lha wong memang Pak Jimmy merasakan sendiri perbedaan kondisi dunia olahraga antara di Indonesia dan di Australia, kok. Pak Jimmy datang dari Surabaya bersama istri dan kedua anaknya. Mereka boyongan ke Perth untuk tinggal seterusnya di kota ini. Salah satu anak Pak Jimmy, Raymond namanya, jago berenang. Sebelum hijrah ke Perth, Raymond berkali-kali memenangi kejuaraan berenang tingkat daerah. Sampai di Perth, bakat dan hobi renang itu dilanjutkan dan digiatkan. Harus begitu, apalagi Australia termasuk salah satu surganya olahraga berenang. Hingga kemudian Raymond menang di ajang kompetisi antarsekolah, yang kalau di Indonesia sekelas Porseni. Ia pun berhak mewakili negara bagian Western Australia, untuk bertanding pada tingkat nasional di Sydney. Malang, jarak Perth-Sydney tak kalah dengan Jogja-Merauke. Perth di tepi barat benua, dan Sydney nyaris di ujung timurnya. Tiket untuk berangkat ke sana tidak murah, Bung! Belum lagi ongkos-ongkos lain untuk akomodasi selama di Sydney. Maka, agar Raymond tetap berangkat, digelarlah acara fundraising. Macam-macam menu makanan Indonesia disiapkan, aneka barang bekas disediakan. Kemudian masyarakat Indonesia diundang, agar mereka jajan makanan dan berbelanja. Uang yang terkumpul diberikan kepada Raymond, sebab tanpa cara itu bisa jadi Raymond gagal berangkat. "Lho, ke mana negara? Ke mana pemerintah Western Australia? Apa mereka tidak peduli dengan petarung yang akan memperjuangkan nama mereka di panggung nasional?"
Memang sih, di sini tidak muncul pertanyaan demikian. Tapi kalau toh harus begitu caranya bertanya, maka jawabannya akan membuat Anda patah hati. "Maaf, negara tidak menyumbang apa-apa." Ya, Raymond harus berangkat sendiri, membiayai sendiri, berjuang sendiri, dan kalau menang dia cuma akan mendapat medali. Bukan uang. Karena dia masih anak sekolah, mustahil di negeri ini ia mendapat hadiah uang. Anak-anak dan uang adalah kombinasi yang bisa-bisa membuat orangtua terjerat pasal eksploitasi anak di bawah umur. Hukumannya beraaattt. Kondisi tersebut sungguh berbeda dengan ketika Raymond masih di Indonesia. Di Surabaya, tiap kali musim kompetisi, dompet anak itu tebal jadinya. Dengan memenangi beberapa partai, biasanya dia bisa pulang dengan mengantongi uang bonus tak kurang dari 5 juta rupiah. Itu angka yang amat besar untuk anak sekolah, bukan? Belum lagi jika ia menang di Kejurda, dan masuk Pelatda. Uang saku bulanan dari pemerintah daerah akan rutin ia dapatkan. Tidak banyak sih, hanya senilai beberapa ratus ribu rupiah. Tapi itu sangat membantu sebagai ongkos pembelian vitamin dan nutrisi lainnya yang sangat dibutuhkan seorang atlet. Nah, mana ada yang seperti itu di Australia? Latihan ya latihan sendiri, mau vitamin ya beli sendiri, mau berangkat ke medan tempur ya bayar tiket sendiri. *** Pasti kemudian muncul rasa penasaran. Jika pemerintah tidak memberikan dukungan finansial kepada atlet, lantas bagaimana mereka hidup? Apakah nantinya para perenang hebat itu juga akan berakhir jadi pengasong kacang rebus di Domain Stadium, stadion terbesar di Perth yang tempo hari ditumpahi puluhan ribu penggila Adelle itu? Jawabannya adalah tidak. Minimal ada dua sebabnya. Pertama, orang Perth nggak doyan kacang rebus. Kedua, para olahragawan Australia hidup dalam sebuah masyarakat yang memang menghidupi mereka. Begini penjelasannya. Masyakarat Australia tergila-gila dengan olahraga. Mereka kecanduan gerak badan setara dengan level kecanduan Anda pada fidget spinner dan drama Korea. Di sini, setiap hari dengan mudah kita menjumpai orang sedang bersepeda balap, jogging, atau sekadar berjalan cepat. Tak harus di pagi akhir pekan untuk melakukan itu. Bisa di hari kerja, pagi sebelum berangkat, sore sepulang kantor, atau bahkan pada malam saat gelap sudah benar-benar turun. Orang pun tak malu-malu untuk terus bergerak. Ada yang berangkat ke kantor dengan naik bus, lalu sorenya pulang ke rumah dengan berlari sambil menggendong ransel yang tampaknya berisi baju kerjanya. Ada para ibu yang mendorong kereta bayi sambil jogging menyusuri tepian sungai atau keliling danau. Ada orang-orang yang melesat dengan sepeda seharga ribuan dolar, namun banyak pula yang tetap bersemangat meski sekadar menggenjot sepeda butut karatan. Itu baru jogging dan bersepeda, yang memang paling gampang dilihat sehari-harinya. Belum lagi berbagai jenis olahraga lain. Berenang, surfing, skating, gym, beladiri, hingga jenis-jenis olahraga lain yang pelakunya tidak terlalu massal semisal bola tangan, kriket, dan entah apa lagi. Pemerintah memang menyediakan fasilitas publik bagi warganya yang doyan bergerak. Fasilitas lho ya, bukan uang atau gaji. Khusus di Perth, jalur untuk sepeda balap (road bike) termasuk sangat baik. Di sepanjang Swan River, di sepanjang pantai barat, juga di tepi jalan-jalan raya. Tentu saja jalur sepeda tersebut sering bersebelahan dengan jogging track. Dengan lengkapnya fasilitas publik, kegilaan masyarakat akan dua jenis olahraga tersebut jadi tampak pula di sisi-sisi wajah yang lain. Toko-toko sepatu olahraga, khususnya sepatu lari, menjamur di mana-mana. Demikian pula toko-toko sepeda, baik yang offline maupun online. Tak terkecuali, lagi-lagi, pada olahraga berenang. Pakaian renang dijual di mana-mana. Kalau sekadar mau butuh baju atau kacamata renang, juga sepatu lari dengan kualitas standar, di kompleks pertokoan tingkat suburb (area seluas kelurahan) pun dipastikan ada. Sebagai kurir, saya selalu mengirim stok dagangan ke banyak toko penyedia pakaian dan alat-alat berenang. Salah satunya bernama Swimmer World, milik lelaki bernama Jeff Norton. Ini toko alat renang yang paling saya kenal dan saya amati. Tiap menjelang musim panas hingga musim itu berakhir, barang kiriman ke toko Jeff selalu membludak. Agak menurun pada musim selanjutnya, namun tetap selalu ada kiriman stok bahkan pada musim dingin. Artinya, pada musim panas orang-orang menghabiskan waktu dengan berenang di pantai. Kebutuhan akan baju renang melonjak. Sementara pada musim yang lebih dingin, aktivitas berenang tetap berjalan normal di kolam-kolam. Untuk itulah kolam-kolam renang juga tersedia, dan selalu ramai terutama di akhir pekan. Selain menyediakan tempat bagi siapa pun yang ingin berkubang air, kolam-kolam tersebut juga menawarkan paket kelas-kelas berenang untuk segala usia. Nah, di sinilah mulai ketemu jawaban untuk pertanyaan di awal tadi. Apakah itu? Yakni para jagoan berenang selalu memiliki kesempatan untuk bekerja sebagai pelatih. Kebutuhan instruktur renang sangat tinggi. Selalu ada banyak kelas, mulai kelas berenang untuk bayi, untuk anak-anak, juga untuk dewasa. Masing-masing terdiri atas sekian level. Mulai sekadar melatih kemampuan berenang untuk keselamatan diri sendiri, lalu untuk menyelamatkan orang lain, hingga pelatihan kemampuan khusus berenang di laut. Berenang memang disebut-sebut sebagai "part of Australian culture". Jeff melongo ketika saya cerita bahwa saya baru bisa berenang pada usia 28 tahun, itu pun cuma gaya kecebong, eh, kodok. Lebih melongo lagi dia ketika tahu istri saya sampai hari ini bahkan belum bisa berenang sama sekali. Wajar saja dia heran, sebab di sini berenang merupakan kemampuan dasar yang seolah sudah disepakati sebagai kewajiban. Maka, sejak masih merah pun anak-anak sudah dilatih berenang dengan giat. Siapa yang membayari? Negara? Halah, apa-apa kok negara. Bukanlah. Karena masyarakat memang gemar berenang dan merasa wajib memiliki kemampuan tersebut, kelas-kelas berenang berjalan dengan mekanisme pasar. Sebagai gambaran, anak saya sekarang sudah masuk level 7, setiap Sabtu dia les renang, dan kami harus membayar 17 dolar hanya untuk kelas yang berjalan selama 30 menit saja. Setiap kali kami datang di Sabtu pagi, kelas-kelas lain berjalan, puluhan orang pesertanya. Itu baru hari Sabtu saja di kolam satu itu, belum di kolam-kolam lain. Belum di hari-hari yang lain. Situasi demikian, sekali lagi, menciptakan kebutuhan guru berenang yang lumayan tinggi. Standar upah untuk guru renang pun bagus. Sementara rata-rata standar upah adalah 20 dolar per jam, seorang guru renang bisa mendapatkan 35 dolar untuk tiap jamnya. Itu baru guru berenang. Belum kebutuhan akan lifeguard, alias tenaga penyelamat. Mereka wajib ada di kompleks-kompleks kolam renang maupun di pantai. Itu baru cabang berenang. Belum cabang-cabang olahraga yang lain. Supervisor saya dulu di PEP Transport, David Bowes, memilih meninggalkan posisi bagusnya karena ingin menjadi instruktur sky diving. Itu sebagai contoh saja. Di olahraga beladiri, untuk ikut kelas Taekwondo, misalnya, orang harus membayar 20 dolar di tiap pertemuan selama 2 jam. Taruhlah peserta kelas itu 10 orang saja, maka sudah ada 200 dolar, dan pelatihnya bisa memperoleh penghasilan sangat cukup dengan mengajar beberapa kelas di tiap pekannya. Mari bandingkan dengan di tempat kita. Saat ini memang sudah bermunculan kelas-kelas beladiri yang agak mewah, dengan biaya mahal, sehingga mudah-mudahan para pelatihnya juga lumayan sejahtera. Namun di tingkat kota-kota kecil, rata-rata murid perguruan beladiri hanya membayar iuran bulanan yang sangat murah. Barangkali apresiasi untuk pelatihnya pun hanya berupa pahala. Lalu bagaimana posisi pelatih beladiri bisa dijadikan sandaran penghidupan? *** Oke, saya luruskan sedikit biar tidak terlalu bombastis. Pemerintah Australia memang menjalankan program penggajian untuk para "world class athletes", atlet-atlet Australia yang levelnya sudah internasional. Nilainya sekitar 35 ribu dolar pertahun. Banyakkah itu? Tidak. Itu jumlah gaji standar untuk pekerja biasa. Jadi kalau mau dibandingkan, ya ibaratnya atlet nasional Indonesia yang direkrut jadi PNS.
|
Penghasilan berupa uang bagi para atlet dewasa didapatkan dari hadiah-hadiah kejuaraan. Sumber lainnya adalah sponsor dan gaji dari klub (untuk anggota tim olahraga semisal bola tangan). Namun ingat, sumber-sumber rezeki tersebut tidak bersifat permanen. Saat tidak lagi aktif berlaga, sebenarnya situasinya tak terlalu beda dengan di Indonesia.
Nah, bedanya, masyarakat Australia memang menghidupi para atlet mereka. Yakni dengan kegemaran massal yang meletup-letup akan olahraga, kebutuhan tetap akan tenaga-tenaga pelatih, bahkan meluas lagi hingga kebutuhan atas berbagai kelengkapan penunjang. Dari situ ekonomi bergerak, masyarakat sehat dan gembira, para olahragawan sejahtera. Semuanya berangkat dari gaya hidup yang mencintai gerak badan. Nah, sampai di sini poinnya cukup jelas: kalau ingin maju, semua harus bekerja. Jangan melulu mengharapkan negara. Sepertinya, "ekonomi olahraga" ala Australia layak ditiru, agar pelan-pelan kita bisa menghapus cerita pilu semacam mantan petinju nasional yang terpaksa mencuri demi sesuap nasi. Entah bagaimana memulainya. Sekadar senam SKJ di depan spanduk bertuliskan "Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat" tak akan cukup ampuh, dan bisa-bisa cuma menjadikan Minggu pagi kita terasa sangat Orba. 10 Mantan Atlet Indonesia yang Kini Hidupnya Tak Secerah Masa JayanyaRachman Kili-kiliBagi pecinta tinju tentunya ingat akan nama seorang petinju hebat dari Indonesia bernama Rachman Kili-kili. Pria yang pernah mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional ini akhirnya mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri karena tidak memiliki pekerjaan.
Di era kejayaannya, Rachman Kili-kili adalah seorang petinju profesional yang memiliki banyak sekali penghargaan baik di tingkat lokal maupun luar negeri. Dia pernah menjadi juara dunia Kelas Bulu Federasi Tinju Internasional (IBF).Sayangnya, selepas gantung sarung tinju dan menapaki hari tuanya, dia justru tidak dapat menikmati hasil jerih payahnya itu dan sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang mengakibatkannya dihimpit masalah ekonomi sehari-hari SuhartoSeorang mantan atlet balap sepeda yang berhasil menyabet medali emas di nomor Team Tome Trial (TTT) Sea Games 1979 di Kuala Lumpur, medali perak di Tour de ISSI 1977, medali perunggu di ROC International Cycling Invitation di Cina pada tahun 1977 sampai dengan medali emas di kejuaraan Walikota Jakarta Utara Cup ini harus menjadi seorang tukang becak di masa tuanya.
Dia hanya berharap mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk menjalani sisa hidupnya yang semakin senja tersebut dan dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Wongso SusenoSelain Rachman Kili-kili, ada satu lagi petinju dari Tanah Air yang berhasil membuat sejarah dengan menjadi juara dunia OPBF pertama untuk Indonesia kelas Welter (63 kg). Selain sabetan prestasi yang cukup prestisius tersebut, pria asal Kota Malang ini banyak penghargaan lain yang berhasil didapatkannya. Bahkan antara tahun 1975-1982 dapat dikatakan sebagai era kejayaannya.
Sayangnya, ketika menapaki hari tua, Wongso harus berjuang untuk dapat hidup dan menghidupi keluarganya. Dia hidup susah dengan bekerja serabutan untuk tetap dapat membayar kontrakan sampai makan sehari-hari. Di rumah kontrakannya yang dapat dibilang sangat kecil, hanya ada 2 benda paling berharga miliknya, yaitu medali emas pemberian mantan Menpora Abdul Gofur dan Penghargaan Satya Lencana dari mantan Menpora Akbar Tandjung. Yuni AstutiYuni Astuti adalah seorang mantan atlet bulutangkis yang pernah meraih juara pertama pada ganda putri PON 1986 di Jakarta. Cukup lama Yuni berkiprah dalam dunia bulutangkis dan mendapatkan banyak pengalaman dari cabang olahraga yang digelutinya itu. Sayangnya, dia harus mundur dari dunia bulutangkis setelah mengalami cedera kaki.
Semenjak gantung raket, tabungan dan hasil yang dia dapat selama menjadi atlet lama kelamaan habis untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Bahkan dia harus menjadi seorang pengamen di Terminal Bus Purabaya, Surabaya agar tetap dapat mencukupi kebutuhan dan demi 3 buah hatinya yang sudah beranjak besar itu. Denny ThiosDi era tahun 80-90an, nama Denny Thios sangat bersinar sebagai atlet angkat berat. Tidak hanya penghargaan tingkat nasional saja, Denny juga mengikuti beberapa kejuaraan tingkat internasional. Bahkan dia berhasil menjadi menyabet medali perak di PON XII, medali emas di kejuaraan angkat berat tingkat Asia, beberapa medali dari kejuaraan angkat berat di Inggris, Belanda dan Swedia sampai dengan memecahkan 3 rekor dunia.
Ketika sudah memasuki usia senja, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan menopang perekonomian keluarga, Denny harus bekerja sebagai tukang las yang penghasilannya tidak menentu karena tergantung dari ada tidaknya orang yang membutuhkan jasanya. Leni HainiSukses mengibarkan bendera Merah Putih di kancah dunia, Leni Haini adalah seorang mantan atlet dayung yang kini hidup memprihatinkan dengan menjadi buruh cuci. Nasibnya yang tragis tersebut ditambah dengan salah seorang anaknya yang menderita penyakit kerapuhan kulit. Dikarenakan hal itu, dia dan suami harus menyediakan setidaknya Rp 1,5 juta setiap bulannya untuk biaya pengobatan.
Di masa jayanya, Leni berhasil mengharumkan nama Indonesia dengan menyumbang 2 medali emas dalam kejuaraan perahu naga Asia di Singapura, 3 emas dan 1 perak di kejuaraan dunia perahu naga yang diselenggarakan di Hong Kong sampai dengan medali emas untuk kejuaraan perahu naga Asia di Taiwan. HapsaniPerolehan medali perak di tahun 1981 dan medali perunggu di tahun 1983 pada kejuaraan SEA Games merupakan bukti kejayaan seorang mantan atlet lari estafet Indonesia, bernama Hapsani. Memang tidak banyak orang yang mengenal atau mengetahuinya, namun sebagai salah seorang atlet nasional yang berhasil mengharumkan nama Indonesia, tentunya negara patut bangga memiliki olahragawan seperti Hapsani yang berjuang keras untuk membuktikan pada dunia bahwa Indonesia tidak dapat dipandang remeh.
Kejayaan di eranya tersebut tidak secemerlang setelah dia pensiun dan berusia lanjut. Dengan berbekal keahliannya yang dia peroleh saat menjadi atlet dengan melatih anak-anak di sekitar rumahnya dengan penghasilan yang sangat minim, Hapsani harus hidup serba mepet. Bahkan dia terpaksa harus menjual medali peraknya di pasar loak untuk makan. Marina SegediMarina Segedi adalah mantan atlet pencak silat yang menyumbang medali emas untuk Indonesia di kejuaraan ASEAN Pencak Silat Kelas A Putri di tahun 1983 yang dihelat di Singapura. Selain itu, banyak pula penghargaan yang dia peroleh baik di tingkat nasional maupun internasional lainnya.
Tidak seperti ketika masih menjadi jawara dalam cabang pencak silat, kini hidupnya jauh dari apa yang dikatakan nyaman. Hidupnya serba pas-pasan dan harus menumpang di rumah orang tuanya. Agar dapat menghidupi anak-anaknya, Marina harus bekerja sebagai sopir taksi. RamangTak kalah menyedihkan, mantan pemain Timnas Sepakbola Indonesia dan mantan pemain PSM Makassa yang waktu itu masih bernama Makassar Voetbal Bond (MVB) bernama Ramang harus hidup serba memprihatinkan. Mulai dari pekerjaan sebagai kenek truk sampai dengan tukang becak, pernah dia lakoni selepas pensiun dari sepakbola. Bahkan di hari tuanya, Ramang tidak memiliki rumah sendiri dan harus menumpang di sebuah rumah temannya yang sangat kecil dan sempit.
Di era jayanya, Ramang sangat terkenal dan menjadi pemain favorit baik di MVB ataupun ketika dia membela Timnas Sepakbola Indonesia. Dari kakinya, tercetak 19 gol dari 25 gol yang dikemas oleh PSSI ketika melawat ke beberapa negara di Asia (Filipina, Hong Kong, Thailand dan Malaysia). Tidak hanya itu saja, salah satu gol yang cukup spektakuler dari kaki pria tua pernah tercipta saat PSSI menekuk RCC dengan skor 2-0 di pertandingan yang dihelat menjelang Kejuaraan Dunia di Swedia, 1958. Pemain legendaris PSM Makassar dan juga Timnas Sepakbola Indonesia ini tutup usia di usia 59 tahun pada tahun 1987 karena penyakit paru-paru basah. Sampai meninggal pun, penghargaan yang disematkan untuknya hanya sebuah patung dari bahan ala kadarnya di pintu utara Lapangan Karebosi. Tati SoemirahMungkin tidak banyak orang yang mengenal nama Tati Soemirah namun lebih mengetahui siapa itu Susi Susanti sampai dengan Mia Audina. Tati Soemirah adalah pemain penentu kemenangan yang menghantarkan Indonesia menjuarai Uber Cup untuk pertama kalinya di tahun 1975.
Setelah gantung raket di tahun 1982, Tati sempat bekerja melatih bulu tangkis di pekayon, bekasi sampai dengan menjadi pegawai di salah satu perusahaan minyak pelumas. Sebelum bekerja di tempat itu, dia pernah menjual vespa yang dia beli dari hasilnya berkiprah di dunia bulu tangkis sampai dengan bekerja sebagai kasir di sebuah apotek, namun tetaplah hidupnya serba pas-pasan. Tidak hanya mereka-mereka di atas saja yang hidup memprihatinkan setelah berjuang mati-matian membela dan mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional, masih ada banyak lagi mantan atlet Indonesia lainnya yang mungkin sampai sekarang belum terkespos. Tidak sedikit dari mereka yang berharap ada bantuan dari pemerintah agar masa tuanya dapat sedikit tercukupi. Editor : Subhan Prasandra
Sumber Tulisan : Iqbal Aji Daryono & Berbagai Sumber Praktisi media sosial, dan suka menulis di mana saja. Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi |