Mengapa Judo sulit berkembang ?Kalau saja saya boleh berbicara secara jujur. Judo di Indonesia untuk 5 tahun kedepan memang masih sangat sulit untuk berkembang. Jangan dulu kita berbicara mengenai prestasi atau menciptakan prestasi Judo di tingkat regional. Karena dengan anda memiliki Dojo yang bisa bertahan kurang lebih setahun dengan minimal 3 murid saja, sebenarnya hal tersebut sudah menjadi prestasi tersendiri bagi anda. Tidak percaya!, silakan saja anda hitung, ada berapa dojo yang eksis (dalam arti murni aktif memberikan materi pelatihan Judo) di kota anda.
Selain itu, Judo sudah dicap sebagai olahraga yang cukup mahal. Untuk seragam saja, setidaknya anda harus merogoh kocek yang sangat dalam, belum lagi matras atau iuran yang mengikutinya bila ikut di Klub yang “sedikit” mencari profit untuk menghidupi klub itu sendiri. Lebih lucu lagi, apabila anda sanggup memiliki atau membeli seragam Judo yang termahal sekalipun namun tidak diikuti oleh fisik anda yang sangat sehat dan kuat. Sudah menjadi rahasia umum, Judo telah dikenal sebagai olahraga keras yang “mustahil” dalam prakteknya tidak membutuhkan fisik. Berani taruhan, untuk pemanasan standar sekalipun, banyak praktisi judo yang angkat tangan, bagaimana dengan orang awam. Belum lagi pola kepengurusan Klub dan administrasinya yang terkadang ricuh di tengah jalan. Jadi, salahkah saya apabila memberikan pernyataan bahwa sangat sulit sekali untuk mengembangkan olahraga Judo di Indonesia. Dahulu kala, saya sering chating dan bertukar email mengenai kondisi Judo Indonesia dengan beberapa pejudo luar Indonesia. Bahkan diantaranya juara-juara dunia seperti Jimmy Pedro (Fuji – USA), Ilias Iliadis (Adidas - Yunani), Patrick Van Kalken (Essimo – Netherlands) dan lainnya. Kesimpulan mereka cukup miris bagi kita (baca Indonesia), dimana mereka mengatakan bahwa Tidak akan ada PEJUDO INDONESIA yang dalam waktu 10 tahun kedepan sanggup berbicara di tingkat dunia atau bahkan Asia sekalipun. Cukup ironis mengingat email komunikasi mengenai hal ini tercatat di tahun 2011. Artinya sudah 6 tahun berlalu sejak mereka mengatakan hal tersebut diatas. Dalam kenyataannya, pelaku olahraga dihadapkan dengan keterbatasan waktu untuk membuat keputusan, karena itu faktor pengalaman dan konteks kegiatan (misalnya: taraf kompetisi yang sedang dijalani) ikut mempengaruhi. Bahkan suara dari dalam sering dominan peranannya, sehingga keputusan-keputusan yang selanjutnya digolongkan sebagai pengembangan karakter, perilaku fair play yang luar biasa, seperti berlangsung diluar kesadaran sang pelaku. Karena itu harus disoroti dari sistem nilai yang kita sebut sportifitas atau fair play. Agar dapat memperagakan perilaku sportif seseorang bukan hanya mematuhi peraturan yang tertulis tetapi juga harus dapat berbuat sesuai dengan keputusan hati nurani. Ilias Iliadis (salah satu Juara Dunia dan Olimpiade Cabang Judo) mengatakan kepada saya bahwa “Judo nowdays is faster, harder,and tactical demanding,”. Pernyataan Ilias Iliadis sebenarnya hendak menggambarkan tren Judo masa kini yang makin cepat, makin keras dan tentunya makin memeras otak.
Lebih cepat : Judo modern berlangsung cepat, bukan cepat dalam hal bergerak, tetapi juga dalam hal eksekusi teknik lanjutan. Seperti dalam menyapu lawan, mengcounter teknik dan menyerang balik. Bahkan kecepatan kini juga dituntut saat dalam menyerang, bertahan dan transisi Lebih keras : Judo modern menuntut banyak duel-duel 1 vs 1 yang keras. Ini memaksa pejudo harus memiliki stamina dan kemampuan mumpuni. Lebih memeras otak : Judo modern semakin taktikal. Segala sesuatunya berusaha dirancang dengan set-play kompleks yang terencana sistematis. Di sisi lain pejudo juga di tuntut memiliki kreativitas untuk sekali waktu berimprovisasi demi kontribusi yang posistif terhadap prestasi dirinya. Terlebih dengan semakin beragamnya peraturan baru yang semakin menyulitkan pejudo yang baru masuk tingkat dunia. Beberapa fenomena dapat menjadi contoh bahwa betapa Judo modern semakin cepat, keras dan memeras otak. Fenomena team Judo Jepang yang secara fisik jauh dengan pejudo Eropa, disaat menguasai perolehan medali dalam berbagai event Judo dunia dapat menjadi contoh betapa pentingnya atlet bermain dengan tempo cepat pada saat yang tepat secara mengejutkan. Fakta menunjukkan pejudo Jepang menjadi juara umum Olimpiade 2016 dengan banyak mencetak nilai ippon melalui perpaduan dan kombinasi teknik keras yang sangat cepat. Pelajaran berharga dari Olimpiade 2016 cabang Judo, telah membawa pada suatu kesimpulan berharga. Yakni Judo selalu berkembang detik demi detik. Dalam kondisi demikian, PJSI dan para pembina Judo usia muda di Indonesia perlu terus menyesuaikan metode, sistim dan kurikulum latihan di tiap dojo agar sejalan dengan perkembangan Judo modern. Pekerjaan ini tidaklah mudah, sebab pembina Judo usia muda di Indonesia kini dihadapkan pada berbagai tantangan sosiologis kehidupan modern yang dapat mengganggu perkembangan pejudo menuju prestasi internasional handal. Selain tantangan sosiologis, pelatih Judo usia muda juga berada di bawah tekanan struktural yang mengekang. Baik yang berasal dari struktural pendidikan, maupun dari PJSI sendiri. Beberapa pertanyaan di atas sebenarnya merupakan auto kritik terhadap peran Pengurus Propinsi di Indonesia selama ini. Yakni bagaimana berbagai kegiatan yang di tawarkan klub atau Pengprov ternyata tidak selalu mengena dengan kebutuhan anak-anak dan remaja. Oleh sebab itu, para pembina Judo usia muda perlu mengubah cara pandang tentang tugas dan tanggung jawab klub ataupun Pengprov. Berikut ini beberapa hal yang klub atau pengprov perlu sajikan untuk memenuhi kebutuhan pejudo usia muda dan remaja. Latihan berkualitas yang atraktif : metode latihan harus menggugah motivasi dan kecintaan terhadap Judo. Banyak melakukan permainan uchikomi yang bervariasi, game newaza dan randori permainan adalah hal yang terpenting. Kualitas Organisasi pertandingan yang fleksibel : Rangkaian pertandingan rutin memberi kesempatan seluas-luasnya bagi semua pejudo untuk bertanding. Bertanding sesuai level dan usia setiap 3 atau 6 bulan sekali adalah harga mati. Format turnament yang inovatif : kompetisi secara berkala yang terfokus pada individu (jam terbang atlet). Bukan pada pencarian juara. Format kompetisi harus melibatkan sebanyak mungkin peserta, sehingga pejudo usia muda dapat belajar dan berkompetisi. Kegiatan rekresional non Judo : kegiatan non Judo seperti team building, outing, atau memainkan olahraga lain diluar dojo sangat penting untuk menunjang olahraga Judo. Melihat berbagai kenyataan di atas. Klub atau Pengprov dengan segala keterbatasan yang ada perlu mengambil peran. Sebab detak jantung pembinaan Judo usia muda di Indonesia kini terletak di Klub dan Pengprov. Latihan berkualitas ini juga akan di dukung dengan berbagai game dalam latihan dan kompetisi. Demi menjadikan Klub/Dojo sebagai pabrik pencetak pejudo masa depan berkualitas. Di antara berbagai persoalan yang membelit perkembangan olahraga Indonesia akhir-akhir ini, ada beberapa persoalan utama yang perlu menjadi catatan tersendiri. Di antaranya adalah sistem pembinaan olahraga yang dikembangkan selama ini, yang ternyata berkontribusi secara signifikan terhadap terpuruknya prestasi Indonesia. Banyak kalangan yang menilai kegagalan ini diperparah oleh kurang seriusnya pembinaan olahraga itu sendiri. Kita sudah jauh tertinggal di segala lini. Terutama soal pemanfaatan IPTEK olahraga. Pola pengembangan olahraga nasional masih bersifat tradisional, tak lebih dari rutinitas sebagai bagian ritual yang berorientasi pada pencapaian prestasi secara instan berdasarkan pengalaman masa lalu yang miskin inovasi. Berpijak dari fakta tersebut, upaya untuk mengembalikan kejayaan olahraga nasional, tidak bisa tidak, harus dimulai melalui reformasi bangunan sistem keolahragaan Tanah Air, dengan penekanan utama pada pergeseran paradigma pembinaan olahraga yang tidak sekadar berorientasi pada pencapaian medali. Medali harus dianggap sebagai konsekuensi logis pembinaan olahraga yang tertata dan terintegrasi dalam sistem yang baik dan mapan. Dalam membangun sistem pembinaan olahraga tersebut, ada beberapa komponen utama yang perlu diperhatikan. Komponen-komponen utama tersebut terdiri atas: Pemain judo biasa disebut dengan pejudo atau judoka. Dan sampai sekarang judo menjadi sebuah cabang olahraga bela diri yang populer sehingga menjadi cabang olahraga resmi Olimpiade. pertama, fungsi, yang mengarahkan dan menjadi penarik. Kedua, manajemen, untuk merencanakan, mengendalikan, menggerakkan, dan mengkoordinasikan seluruh kegiatan sehingga tertuju pada tujuan guna meningkatkan efisiensi teknis dan ekonomis. Ketiga, faktor ketenagaan, di mana saat ini isu nasional dalam pembinaan olahraga masih berkutat pada kelangkaan tenaga-tenaga profesional yang dipersiapkan secara khusus untuk membina olahraga melalui program pendidikan atau pelatihan. Keempat, tenaga pembina. Beberapa permasalahan utama yang terkait dengan komponen ini berhubungan dengan belum adanya standar persyaratan tenaga profesional pembina olahraga yang dibangun secara sistemik. Pengakuan formal dari pemerintah terhadap jabatan ini masih minim, termasuk di dalamnya pengakuan terhadap status dan kompetensi mereka yang berimplikasi pada sistem penghargaan dan jaminan sosial yang mereka terima. Kelima, atlet atau olahragawan. Tak jauh berbeda dengan komponen tenaga pembina, faktor-faktor klasik seperti penghargaan serta jaminan sosial yang mereka terima menjadi permasalahan serius yang ikut menentukan kegairahan pencapaian prestasi yang secara keseluruhan ikut menentukan upaya membangun profesionalisme olahraga nasional. Keenam, struktur program dan isi, yang berkenaan dengan program-program umum serta kegiatan keolahraga yang dirumuskan dalam kalender olahraga nasional yang dapat meningkatkan mutu pembinaan. Ketujuh, sumber-sumber belajar, seperti buku petunjuk, buku ajar, rekaman film, dan lain-lain, termasuk di dalamnya informasi secara meluas tentang pronsip pembinaan yang disajikan secara praktis. Kedelapan, metodologi dan prosedur kerja, yang mencakup pengembangan dan penerapan teknik serta metode pembinaan dan pemanfaatan temuan-temuan baru guna memaksimumkan efisiensi dan efektivitas pembinaan. Kesembilan, evaluasi penelitian, untuk mendukung pengendalian program agar mencapai tujuan yang diharapkan, termasuk di dalamnya adalah pengendalian mutu, peningkatan efisiensi dan efektivitas pembinaan. Kesepuluh, dana. Problem utama yang membelit komponen ini berkisar pada sumber pendanaan yang masih minim serta alokasi dan pemanfaatannya secara tepat dan optimal.
|
PROBLEMA PEMBINA JUDO USIA MUDA Minimnya sarana latihan : Jumlah fasilitas olahraga Judo yang minim berujung pada rendahnya minat masyarakat pada olahraga Judo. Tentunya hal ini berimbas pada atlet Judo yang perlu dilatih dalam area yang dilengkapi dengan matras (Tatami).
Padatnya jam kegiatan belajar : Dahulu, kegiatan pendidikan hanya berlangsung hingga jam 1-2 siang. Tiap sore hingga menjelang malam, anak-anak dan remaja dapat berlatih Judo. Kini, fenomena tersebut sirna seiring dengan wacana sekolah hingga jam 4 sore. Belum lagi ditambah dengan kegiatan pelajaran tambahan. Buruknya kurikulum olahraga di sekolah : di tengahnya padatnya jam belajar formal, tidak diikuti kurikulum pendidikan jasmani yang kontributif. Praktis siswa hanya berolahraga 90 menit/minggu Minimnya kompetisi Judo usia muda yang berkualitas : selain penyelenggaraan kompetisi Judo Ganesa Cup, Soehod Cup, Popnas, PPLP, dan Sirkuit Judo Sejabotabek, tidak ada lagi kompetisi yang dikhususkan bagi atlet judo usia muda. Kompetisi pun semakin menurun waktu demi waktu. Berbagai problema pembina Judo usia muda di atas sebenarnya berujung pada suatu konsekuensi. Yakni buruknya kemampuan khasanah gerak atletik dasar para pejudo. Dengan minimnya ruang latihan, serta sedikitnya jam untuk berlatih Judo, kemampuan gerak atletik pejudo jarang sekali terasah. Ini ditambah lagi degan buruknya kurikulum olahraga di sekolah yang tidak pernah terfokus pada pengayaan khasanah gerak dasar olahraga seperti cara berjalan, berlari, melompat, melempar, dst. Dalam konteks pengembangan olahraga Judo, berkurangnya kesempatan untuk berlatih Judo secara baik dan benar sangatlah merugikan. Berlatih Judo di sebuah dojo yang khusus diperuntukkan untuk olahraga Judo sangatlah efektif dalam membentuk Pejudo tangguh. Dengan jumlah sparing dan area latihan yang luas, pejudo banyak melakukan uchikomi dan randori dengan lawan dan kondisi yang bervariasi. Singkat kata, keberadaan fasilitas dan sparing dalam Judo membantu proses pembinaan usia muda. Terutama dalam hal menumbuhkan kecintaan anak pada olahraga Judo.
Dalam perkembangan olahraga Judo modern, serta di tengah tantangan yang mendera para pembina Judo usia muda, seluruh Pengurus Provinsi (Pengprov) yang ada, perlu mengambil peran yang lebih optimal. Hal ini terjadi karena Pengprov kini praktis menjadi satu-satunya induk organisasi Judo terbesar dan acuan bagi klub-klub Judo di suatu Propinsi. Jelas, bahwa di Indonesia saat ini, sulit rasanya mengharapkan anak-anak atau remaja berlatih judo di suatu klub tanpa peranan dan andil dari Pengurus Propinsi. Satu hal utama yang perlu dilakukan adalah menyiapkan program latihan khusus bagi pejudo usia muda yang berkualitas bagi anak-anak dan remaja yang terlibat dalam sebuah klub Judo. Sayangnya di tengah banyaknya klub Judo di Indonesia, tak banyak klub Judo yang menyediakan program latihan bagi pejudo usia muda. Tingginya atlet judo usia muda yang meninggalkan klub sebagai akibat terlalu kerasnya program latihan, merupakan indikasi bahwa tak banyak klub judo yang sanggup menyajikan program latihan yang berkualitas. Fakta ini kemudian memunculkan beberapa pertanyaan fundamental :
Judo merupakan salah satu cabang olahraga bela diri yang berasal dari Jepang. Secara bahasa, judo memiliki makna menjatuhkan lawan dengan cara yang lembut. Judo juga merupakan seni bela diri modern dan olahraga perang yang diciptakan pada tahun 1882 oleh Jigoro Kano. Filosofi judo mulai dikembangkan dari sekolah (koryu) lama. Judo juga merupakan upgrade dari seni bela diri kuno Jepang yang bernama jujutsu. Haornas sebagai bagian sistem pembinaanHari Olahraga Nasional (Haornas) sesungguhnya dapat dimaknai sebagai peristiwa penting olahraga dalam rangka membangkitkan motivasi bangsa untuk berolahraga. Penyelenggaraan haornas sekaligus merupakan pernyataan kesungguhan sikap terhadap olahraga dan manifestasi dari cetusan aspirasi masyarakat serta komitmen politik yang kuat dari pemerintah bahwa olahraga merupakan bagian yang penting, baik dalam konteks pembangunan dan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu pula, peringatan haornas bukan saja berisi pernyataan retorik tentang kebermaknaan olahraga bagi bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, Haornas harus didudukkan sebagai bagian dari sistem pembinaan olahraga yang mampu menggerakkan partisipasi olahraga dari seluruh lapisan masyarakat.
"Mungkin" SOLUSI ! Pertama, Mengembalikan fungsi Padepokan Judo Indonesia (PJI) sebagai rumah bagi para Pejudo Indonesia. Dari Padepokan ini, beragam persoalan olahraga judo di Tanah Air didiskusikan dan dicari solusi terbaiknya. Dari gedung itu pula para atlet dilepas untuk berlaga diberbagai event, membawa panji Indonesia, serta penghargaan bagi para atlet berprestasi diberikan. Kedua, membangun relasi yang harmonis dengan orang tua atlet berprestasi serta lembaga-lembaga pendidikan tempat para atlet tersebut menimba ilmu. Melaui sinergi tersebut, diharapkan para atlet Judo Nasional tidak hanya berprestasi di arena olahraga namun juga memiliki prestasi yang membanggakan di bidang akademis. Di sini, dukungan orang tua memiliki arti yang besar bagi kemajuan olahraga atlet itu sendiri. Dari pengalaman yang ada menunjukkan jika upaya menjalin relasi yang harmonis itu tak luput dari berbagai tantangan. Keragu-raguan orang tua bahwa profesi olahragawan dapat menopang kehidupan anak-anak mereka, salah satunya. Persepsi ini bukan hal yang sederhana untuk diluruskan. Belum lagi sikap beberapa sekolah yang masih memandang dunia olahraga sebelah mata. Para atlet pun hanya diberi pilihan antara olahraga atau sekolah. Untuk menyiasati tantangan ini, koordinasi dengan Diknas dan sekolah-sekolah harus dilakukan tanpa henti. Hasilnya, di sebagian besar institusi pendidikan di Indonesia (contoh: DKI Jakarta dan Jawa Timur) mulai terbangun kesadaran betapa pentingnya prestasi olahraga itu. Terlebih, jika dikaitkan dengan UU Sistem Keolahragaan Nasional yang memperkenalkan tiga jenis olahraga: olahraga pendidikan, olahraga prestasi, dan olahraga rekreasi. Hasilnya, beberapa sekolah telah memberikan bentuk perhatian yang istimewa kepada pengembangan olahraga, seperti program pendidikan olahraga yang dikembangkan di Sekolah Ragunan Jakarta dan SMANOR Jawa Timur. Ketiga, upaya sistematis untuk merubah persepsi pola instan dalam sistem pembinaan. Hal ini berkaitan dengan persepsi yang dianut oleh beberapa kalangan olahraga yang berupaya menggapai prestasi secara instan. Cara pandang yang demikian berakar dari pengalaman masa lalu. Merubah pandangan ini merupakan sebuah perjuangan tersendiri. Di sinilah letak peran teknologi. Karena itu, kerjasama dengan lembaga-lembaga pengembangan IPTEK olahraga tidak dapat dikesampingkan. Keempat, memberi akses yang lebih besar bagi para atlet untuk mengembangkan prestasi. Dalam konteks ini, kendala utama sebagian besar berwujud keterbatasan fasilitas olahraga dan pendanaan berbagai event olahraga. Untuk menyiasati kondisi ini, dapat ditempuh dengan menggandeng berbagai venues dan perguruan tinggi yang memiliki fasilitas olahraga. Melalui kerjasama ini berlangsung optimalisasi pemanfaatan fasilitas olahraga tersebut, sekaligus sebagai wahana untuk memperkenalkan venues dan perguruan tinggi itu kepada masyarakat luas melalui aktivitas olahraga yang diselenggarakan di sana. Kelima, mengupayakan bantuan beasiswa bagi para atlet yang tengah menimba ilmu di bangku sekolah. Dalam kerangka tersebut, dahulu Perkumpulan JUDO Trisakti menjalin kerjasama dengan Universitas Trisakti untuk memberi peluang yang lebih besar kepada para atlet berprestasi guna memperoleh akses pendidikan yang lebih baik secara cuma-cuma. Dengan adanya beasiswa pendidikan tersebut, kesempatan para atlet membangun masa depan mereka semakin terbuka lebar. Semuanya berpulang kepada para atlet yang memperoleh beasiswa itu untuk memanfaatkan kesempatan emas yang mereka peroleh dengan sebaik-baiknya. Keenam, pemanfaatan teknologi informasi sebagai media komunikasi bagi pengembangan dunia olahraga. Informasi yang disajikan di dalam situs tersebut selalu di-up date agar dapat berperan optimal sebagai jendela informasi dan forum komunikasi tentang perkembangan olahraga Judo Nasional. Inovasi yang dilakukan oleh Sandro Academy utamanya dalam memperbanyak kompetisi judo skala lokal di Indonesia hanyalah salah satu bentuk upaya pembinaan atlet dari sudut pandang terkecil. Di luar program tersebut, sesungguhnya masih terbuka peluang yang besar bagi inovasi-inovasi lainnya dengan pola-pola yang beragam. Namun, satu hal yang patut dipahami adalah bahwa upaya pembinaan atlet adalah sebuah program yang paling mendasar dalam pengembangan olahraga. Dan, program ini menuntut konsistensi serta melibatan semua pihak, baik pemerintah, swasta, masyarakat awam dan pelaku olahraga itu sendiri. Hanya dengan kerjasama yang sinergi dari kesemua unsur tersebut, kejayaan olahraga tanah air dapat kita rebut kembali. Jigoro Kano menambahkan beberapa teknik ciptaannya sendiri pada jujutsu yang telah dia pelajari pada saat itu termasuk teknik tenjinshiyo dan teknik kito. Baru pada tahun 1882, Jigoro Kano mendirikan sekolah dojo di Tokyo yang disebut kodokan dojo. Sekolah dojo pertama di dunia itu, dia dirikan di kuil Eishoji dengan jumlah murid pertamanya hanya sembilan orang. |