SANDRO ACADEMY - Do It Different
  • HOME
  • ABOUT
  • SCHEDULLE
  • SUPPORT
  • GALERY
  • ARTIKEL
  • STORE
  • CONTACT
  • FAQ

Picture

Asian Games Sebagai Pemicu Kebangkitan Olahraga Nasional


Dunia olahraga Indonesia jalan di tempat, prestasinya menurun, atau kualitas atlet bangsa lain yang meningkat tajam? Itu pertanyaan paling sederhana yang patut diajukan saat ini. Sebab, di zaman Soekarno, supremasi olahraga Tanah Air begitu perkasa di laga dunia. Terlebih lagi di era Soeharto, prestasi olahraga Indonesia memasuki masa keemasan. Pada masa itu, olahraga juga menjadi energi pembangunan dan sumber kehormatan.

​Soekarno meletakkan olahraga sebagai bagian dari ‘Nation and Character Building‘, sedangkan Soeharto memandu rakyat menuju era pencapaian dengan slogan yang terkenal ‘Memasyarakatkan Olahraga, Mengolahragakan Masyarakat’. Keduanya menjadi bukti, sejarah kedigdayaan olahraga kita tak lepas dari hadirnya upaya sungguh-sungguh seorang pemimpin (negara).

Tingginya dukungan negara terhadap olahraga membawa dampak yang menggembirakan bagi torehan prestasi olahraga nasional. sepanjang era orde lama dan orde baru, kita merajai olahraga di Asia Tenggara, berbicara di tingkat Asia, dan langganan prestasi dunia untuk cabang bulu tangkis.Pada 1956, sepak bola Indonesia berhasil menahan imbang Uni Soviet. Selanjutnya, dalam Asian Games 1958, Indonesia berhasil meraih posisi tiga besar. hingga menjadi peringkat dua pada Asian Games Jakarta 1962.

Prestasi Olahraga 
​Era Soekarno

Di masa Soekarno, di usia Republik yang masih belia pasca-lepas dari  kolonialisme, ia punya ambisi membawa nama bangsa ke pentas dunia. Tak hanya berdimensi ekonomi, politik, militer, ataupun budaya, dia juga mencipta olahraga sebagai alat mengangkat marwah Indonesia. Salah satu ikhtiar itu, misalnya ketika Bung Karno “bertempur” dengan negara-negara lain untuk menjadikan Indonesia tuan rumah pada pesta olahraga Asian Games. Perjuangannya tak sia-sia, Jakarta akhirnya menang menjadi tuan rumah Asian Games IV pada 1962.

Bung Karno meyakini, dengan menjadi tuan rumah turnamen olahraga tingkat Asia itu, otomatis akan meningkatkan bargaining position Indonesia dalam percaturan politik dunia. Ia pada akhirnya mengabaikan kondisi ekonomi yang saat itu sedang terpuruk. Untuk itu, pembangunan infrastruktur seperti Stadion Utama Senayan (kini Gelora Bung Karno) pun dikebut. Ia juga membangun jembatan Semanggi dan Tugu Selamat Datang, membuat jalan baru dari dan menuju Kompleks Senayan, ring road pertama yang merupakan Jalan Jakarta by-pass dan Jalan Slipi-Gatot Subroto, Jembatan Semanggi, Hotel Indonesia, Wisma Warta, Pusat Perbelanjaan Sarinah, dan Monumen Nasional.
​
Proyek-proyek tersebut dianggap Soekarno sebagai proyek ‘Nation and Character Building’ dalam menemukan kembali ‘kepribadian nasional’ bangsa Indonesia di tengah-tengah pergaulan dengan bangsa lain.
“Jikalau saya hubungkan, Asian Games dengan negara, dengan bangsa, dengan Tanah Air, dengan gengsi Indonesia, saya melihat hubungan yang amat erat sekali. Dan, kita semuanya harus mengangkat gengsi Indonesia, mengangkat nama Indonesia, mengangkat prestise Indonesia. Jikalau Asian Games berjalan dengan sebaik-baiknya, gengsi dan nama Indonesia naik setingkat lagi. Jikalau Asian Games gagal, tidak baik, tidak sempurna, nama Indonesia hancur lebur dipandang dunia seluruhnya,”
​
– Ir. Soekarno.
Hanya berselang setahun, Soekarno kembali membuat buah bibir dunia lantaran menggelar Games of New Emerging Forces (Ganefo). Ajang multicabang itu memang dimaksudkan untuk menjadi ‘olimpiade tandingan’. Betapa tidak? Ganefo diikuti oleh 2.200 atlet dari 48 negara. Ganefo adalah alat propaganda Soekarno dalam menyebarkan konsepsinya mengenai dualisme kekuatan dunia saat itu: Oldefo (Old Established Forces) dan Nefo (New Emerging Forces). Pemicu lain adalah keputusan Komite Olimpiade Internasional (IOC) untuk mengeluarkan Indonesia dari keanggotaannya setelah kita menentang kepesertaan Israel dan Taiwan dalam Asian Games.
​

Selanjutnya, pada 18 Desember 1963, Bung Karno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 263/1963 untuk memicu prestasi olahraga Indonesia dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di taraf internasional yang setinggi-tingginya. Keputusan itu sebagai bentuk komando kepada seluruh rakyat Indonesia supaya menjadi sportminded dan ikut-serta dalam kegiatan olahraga yang merupakan bagian penting dari revolusi Indonesia. Perintah itu kemudian dituangkan dalam rencana yang dinamai ‘Rencana 10 Tahun Olahraga’.
Picture
Rencana 10 Tahun Olahraga melengkapi diri dengan 5 Program Dasar, yakni mempertinggi potensi fisik nasional (Gerakan Massal Olahraga), memperluas dan mengintensifkan gerakan olahraga di lingkungan pemuda/pelajar, membina Olahragawan-olahragawan yang potensial dan berbakat untuk mencapai prestasi tinggi, menyediakan kelengkapan-kelengkapan material dan spiritual untuk penyelenggaraan olahraga, konsolidasi Ganefo I dan Penggeloraan Gerakan Ganefo.

Dari semua upaya itu, Indonesia dapat mengikuti lima Asian Games sejak 1951 di India sampai 1966 di Thailand. Prestasi tertinggi Indonesia diperoleh pada Asian Games 1962 di Jakarta dengan perolehan 9 emas 12 perak 48 perunggu. Indonesia menempati peringkat ketiga, yang merupakan peringkat tertinggi sepanjang sejarah partisipasi di Asian Games

Prestasi Olahraga
​Era Soeharto

Berakhirnya kekuasaan Soekarno dan naiknya Soeharto tidak berarti perhatian terhadap olahraga menurun. Pertama-tama, Presiden Soeharto mencanangkan Gerakan Nasional tentang ‘Panji Olahraga’ pada tahun 1983. Salah satu motto yang paling populer dan fenomenal dari Panji Olahraga yakni “mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga”.

Pak Harto juga menetapkan Hari Olahraga Nasional pada 9 September guna peningkatan, pembinaan, dan perkembangan olahraga secara berkelanjutan. Penetapan itu dilakukan pada 1985, yang tanggal peringatannya diambil dari pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama di Indonesia. Lewat PON inilah benih atlet-atlet di masa orde baru ditempa dan dikirim ke arena tanding mancanegara.
 
Hasilnya, dibuktikan lewat dominasi atlet nasional di kancah Asia Tenggara. Di era Soeharto, Indonesia berpartisipasi pertama kali dalam pesta olahraga dua tahunan SEA Games pada 1977. Sebelum SEA Games, acara itu bernama SEAP (Southeast Asian Peninsular) Games, yang bemula tahun 1959. Ketika pertama kali berpartisipasi, Indonesia langsung berada pada posisi terdepan dalam urusan pengumpulan medali dengan menggeser dominasi Thailand.
​
Pada periode kepemimpinan Soeharto tercatat Indonesia 11 kali ambil bagian sejak 1977 hingga 1997 dan kedudukan nomor satu hanya digeser Thailand saat negeri gajah putih itu menjadi tuan rumah pada 1985 di Bangkok dan 1995 di Chiang Mai.

Prestasi memukau lainnya, sebut saja Rudy Hartono menjadi juara termuda di All England (1968) dan pegang rekor delapan kali juara, tujuh kali secara berurutan. Piala Thomas pun menjadi langganan Indonesia dari 1970an-1990an. Selain itu, Indonesia untuk kali pertama memperoleh medali di ajang Olimpiade, trio panahan mendapatkan perak di Seoul 1988. Setelah perak, akhirnya emas Olimpiade bisa diraih di Barcelona 1992 lewat Susy Susanti dan Alan Budi Kusuma. Era emas Olimpiade terakhir di zaman Presiden Soeharto diberikan Ricky/Rexy di Atlanta 1996.
Picture
Setelah era Soeharto, muncul empat presiden pengganti, B.J. Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Kejadian memprihatinkan mengemuka, ketika Kementerian Olahraga dibubarkan saat Gus Dur dan Megawati menjadi presiden. SBY menghidupkan kembali Kementerian Olahraga, tetapi Indonesia belum bisa meraih kembali posisi puncak pada olahraga Asia Tenggara, apalagi tingkat Asia dan dunia.

Prestasi Olahraga
​Saat ini


Entah kebetulan atau tidak, pasca reformasi politik yang terjadi di tanah air pada 1998, prestasi olahraga Indonesia cenderung menurun. Betul bahwa medali emas olimpiade bisa kita pertahankan, tapi tak bisa dipungkiri bahwa atlet bulutangkis kita semakin sulit mengimbangi persaingan atlet-atlet mancanegara.
​
Kini, di era reformasi, tak perlu kita membuka lembaran prestasi di tingkat Asia ataupun dunia, di tingkat ASEAN saja sudah terpuruk terpuruk. Prestasi kita itu terus menurun sejak SEA Games Brunei 1999, harus puas di posisi ketiga. Dua tahun berikutnya di Kuala Lumpur, posisi Indonesia merosot lagi ke urutan keempat dan itu berulang di Hanoi 2003. Rekor terburuk tercipta di Manila 2005 ketika tim nasional terperosok ke posisi kelima, lalu bertengger di tangga keempat di Thailand 2007.
Picture
Picture

Bangkit dari Krisis Prestasi Olahraga


KEOLAHRAGAAN nasional bertujuan antara lain mengangkat harkat, martabat, dan kehormatan bangsa. Tujuan itu tertuang secara terang benderang dalam undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Tujuan untuk memuliakan nama bangsa, menurut undang-undang itu, dicapai melalui olahraga prestasi. Karena itulah, olahraga prestasi dilaksanakan melalui proses pembinaan dan pengembangan secara terencana, berjenjang, dan berkelanjutan dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi keolahragaan. Harus jujur diakui bahwa saat ini Indonesia gagal membina dan mengembangkan olahraga prestasi.

Fakta yang telanjang bulat ada di hadapan kita ialah prestasi olahraga Indonesia di kawasan Asia Tenggara turun dan turun terus. Pada ajang SEA Games yang menjadi ritual dua tahunan itu, Indonesia sudah tidak lagi menjadi negara yang diperhitungkan. Padahal, Indonesia mendominasi prestasi pada periode awal digelarnya ajang ini pada 1977. Dalam periode 20 tahun terakhir, posisi Indonesia konsisten berada pada rentang peringkat tiga hingga lima. Terus terang dikatakan bahwa SEA Games 2017 di Malaysia menjadi monumen kegagalan olaharaga Indonesia. Disebut kegagalan karena 'Kontingen Merah Putih' hanya mampu mendulang 38 medali emas dari 50 emas yang ditargetkan.

Tidaklah berlebihan jika dikatakan negeri ini berada dalam situasi darurat olahraga. Jangan berlama-lama berlarut dalam situasi darurat prestasi olahraga. Kita harus segera bangkit untuk menyambut Asian Games 2018 karena Indonesia bertindak selaku tuan rumah penyelenggaraan ajang olahraga empat tahunan negara-negara Asia tersebut. Tolok ukur kesuksesan Asian Games bukan semata-mata memenuhi target delapan besar. Target itu dicapai murni karena prestasi, bukan menghalalkan segala cara dengan memanfaatkan keuntungan sebagai tuan rumah. Jauh lebih penting lagi ialah Indonesia sukses sebagai tuan rumah.

Karena itulah, pembangunan infrastruktur olahraga harus selesai tepat waktu tanpa korupsi. Prestasi buruk di SEA Games Malaysia perlu dievaluasi secara menyeluruh. Hasil evaluasi itu bisa dijadikan bahan untuk perbaikan menghadapi Asian Games. Pada perhelatan SEA Games, persiapan kontingen Indonesia serbainstan. Ada persoalan keterlambatan uang saku, tidak adanya alat bertanding, batalnya pemberangkatan uji coba serta pemusatan latihan. Singkat kata, kegagalan Indonesia akibat salah urus olahraga prestasi. Lebih ironis lagi, salah urus olahraga prestasi seakan dilestarikan sejak lahirnya UU Sistem Keolahragaan Nasional. Padahal, undang-undang itu sudah secara rinci mengatur peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam memajukan olahraga prestasi. Disebutkan secara eksplisit bahwa pengelolaan olahraga nasional merupakan tanggung jawab seorang menteri. Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi sudah meminta maaf dan mengaku bertanggung jawab atas kegagalan Kontingen Indonesia pada SEA Games 2017.

Permintaan maaf saja tidak cukup. Harus ada upaya lebih nyata lagi untuk memajukan olahraga prestasi di tingkat internasional. Upaya nyata itu, misalnya, mulai menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah untuk memetakan potensi olahraga di daerah. Kalau selama ini Lampung menjadi andalan angkat besi, mestinya di sana didirikan pusat pelatihan angkat besi. Kalau di NTT lahir benih atletik, sudah seharusnya di sana dibangun fasilitas olahraga lari yang nyaman. Jangan semuanya dipusatkan di Jakarta. Tidak salah pula bila menteri mulai membangun hubungan yang baik dengan induk olahraga. Untuk keluar dari situasi darurat prestasi olahraga saat ini tidak bisa dengan permohonan maaf. Negeri ini sudah inflasi kata maaf yang diucap pejabat saban gagal memetik prestasi. Harus ada tindakan nyata terukur untuk memajukan olahraga, bukan dengan kata kata.​

Ditulis ulang oleh Subhan Prasandra
- dari berbagai sumber
Picture
Picture
Picture
KEMBALI KE HALAMAN AWAL
Picture
copyright 2021
Powered by Create your own unique website with customizable templates.
  • HOME
  • ABOUT
  • SCHEDULLE
  • SUPPORT
  • GALERY
  • ARTIKEL
  • STORE
  • CONTACT
  • FAQ